Rumah

Kamu masih kuanggap sebagai rumah, tempatku berpulang. Meski, saat ini sedang ada yang singgah dirumahmu ketika aku sedang diluar rumah. Aku percaya padamu, bahwa kamu bisa menjaga rumah itu tetap baik untukku.

Sejauh ini aku bepergian ke tempat baru untuk belajar banyak hal terutama memperbaiki rumah yang rusak. Ya, rumah yang dibangun dengan pondasi kepercayaan, pengertian dan dihiasi oleh kenangan manis itu sempat ku rusak dengan paku kekecewaan. Kecil memang, namun kulakukan dibanyak tempat. Kini, aku sedang berusaha melepas semua paku yang tertancap itu. Sadar akan ada bekas lubang yang tertinggal, akupun berusaha menambal satu per satu lubang tersebut dengan usahaku.

Dulu, aku menambal lubang itu seorang diri, kini kamu mulai datang mengulurkan tangan dan mencoba membantu itu. Meski, dirumahmu sedang ada tamu yang singgah, namun aku sadar usahamu untuk membantuku itu memang dari ketulusan hatimu. Tak peduli bila tanganmu ikut terluka, ketulusanmu itu sangat berarti untukku.

Lalu, bagaimana dengan nasib tamu tersebut? Apakah kamu sempat sambut dengan penuh kehangatan atau memang hanya sekadar tamu asing bagimu?

Ah, sialnya aku tak peduli akan hal tersebut. Ku serahkan tamu tersebut kepadamu, aku hanya fokus untuk membangun dan menambal setiap lubang yang masih terdapat dirumah tersebut. Kuharap, saat selesainya setiap lubang diperbaiki, tamu tersebut secara sadar berpamitan pergi.

Tahukah kamu? Wahai RUMAH, aku sangat bersyukur setiap bantuan yang kau berikan saat memperbaiki rumah tersebut. Bahkan, sampai detik ini. Harapan terbesarku? Ketika semua ini telah usai, baik kamu dan aku akan menempati rumah tersebut bersama sampai Yang Kuasa memisahkan kita oleh kehendaknya.

Sugeng Ambal Warso

Perkenalkan ‘Dia’ seseorang wanita yang menemaniku kurang lebih 7 tahun. Sebelum, kita berakhir pada jalan masing-masing. Dia bernama Annissa Ambaryati Mahani, seorang perempuan yang lahir di Jakarta, 22 November 1996.

Ya, dia lah yang masih jadi kebanggaan sampai tulisan ini terbit ketika tepat ulang tahunnya ke 27. Doa beserta harapan baik selalu tercurahkan untuk dia. Mungkin, saat dia membaca tulisan ini masih bersama orang lain atau kembali bersamaku.

Dia terlalu indah digambarkan dalam sebuah kata-kata, terlalu berkesan untuk digambarkan dalam sebuah lukisan, dan juga terlalu bercahaya bila disandingkan oleh sang surya. Itu bagiku, tidak ada perdebatan untuk aku yang masih ada disini.

Selamat bertambah usia wahai perempuan kebanggaan. Doa beserta harapan yang ku panjatkan semoga disegerakan.

Kembali Pergi? atau Pergi Kembali?

Teruntuk kamu yang telah kukenal sejak Februari 2016, tulisan ini sebagai salah salah satu ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku yaitu, mengenal dirimu.

Kita berdua sedang berada dipersimpangan jalan, setelah melewati berbagai kisah yang mebawa gelak tawa, sedih, haru dan macam rasa lainnya. Saling belajar arti perpisahan yang terjadi untuk kesekian kalinya.

Bagiku? Semua ini tamparan keras yang makin menyadarkan artinya sosok peran pentingmu dalam setiap kehidupanku yang terlalu penuh dengan keegoisan.
Bagimu? Semua ini mungkin langkah awal untuk menikmati kebebasan dalam bertemu orang-orang baru yang bisa membuatmu lebih tersenyum dibandingkan bersamaku.

Apakah aku masih terlintas dalam benakmu?, meskipun hanya selintas saja.
Atau, sudah bagai angin yang berhembus yang menerpa pepohonan dan membuat setiap daunnya berjatuhan serta berserakan begitu saja di tanah?

Celakanya aku, setiap hari disibukan untuk terus mengenang setiap peristiwa yang cukup membuatku senyum bahkan sampai terkadang membuat mata ini basah tanpa sebab. Rindu atau Candu? Keduanya makin samar untuk dibedakan.

Wahai engkau wanita yang kukenal sejak 7 tahun lalu, izinkan aku selalu berdoa untukmu disetiap harinya agar dipersatukan kembali di waktu dan kesempatan yang tepat. Bukan sebagai undangan tamu terhormat, melainkan pasangan yang tepat. Itu doaku.

Sekarang, mungkin bukan peran untuk diriku membuatmu tersenyum setiap harinya. Tetapi, izinkan aku berterima kasih kepada orang-orang tersebut yang telah menggantikan peranku saat aku tak ada. Kubiarkan kamu untuk bahagia dengan caramu sendiri, tak apa bila kamu bangun tembok tinggi untuk menghalangin kehadiranku untuk saat ini. Apabila, waktu telah tiba dan Tuhan menyertai, biarkan tembok itu runtuh dengan sendirinya.

Seperti pesanmu kepadaku, untuk selesaikan semua urusanku saat ini. Kuharap, hati dan perasaanmu masih tersimpan rapih untukku nanti saat kembali.

Kembali pergi?, atau Pergi kembali? Biarkan semesta dan sang pencipta yang membuatkan jalannya. Kita hanyalah sepasang hambanya yang sedang dipisahkan oleh waktu dan saling memanjatkan harapan untuk setiap kebaikan, kuharap engkau pun demikian.

Inilah pesanku, dari lelaki yang bersamamu sejak pertemuan pertama 23 Februari 2016 di Purwokerto, Jawa Tengah.

Angan Ditengah Lautan

Tinggal beberapa hari saja untuk genap sebulan dari komitmen kita di akhir bulan lalu untuk berhenti sejenak dari hirup pikuk hubungan yang terkesan toxic. Namun, sampai saat ini pun, aku masih bingung untuk berkata sepatah kata pun. Aku masih dipenuhi rasa takut, bingung, serta khawatir apabila hal yang nanti aku sampaikan malah membuatmu semakin jauh. Jujur, aku tak sanggup.

Jarak yang terbentang hampir sebulan ini saja sudah membuat nurani dalam diriku risau tak karuan. Bagaimana dalam waktu setahun layaknya dirimu melakukan itu. Aku terlanjur kagum dengan kuatnya hatimu dalam menghadapi badai kala itu sendirian. Ah salah, kau tak sendiri, ada peranku disitu. Walaupun pada awalnya hanya sebagian dari diri ini, namun pada akhirnya segenap hatiku t’lah kembali. Sayangnya, disaat itu pun kau t’lah beranjak pergi.

Aku tak sedang membanggakan atau membandingan diriku dengan dirimu. Tapi, itulah kenyataannya. Aku belum sempat berdiri, namun kau sudah berlari. Sadar dengan jelas, perihku tak sebanding dengan perihku, pahitku tak sebanding dengan pahitmu.

Kamu sangat paham betapa lemahnya diriku di hadapanmu, hanya membesarkan egoku sendiri agar tetap terlihat kuat didepanmu.

Saat ini, aku sedang mencari titik keikhlasan, untuk persiapan apabila anganku tak sesuai dengan kenyataan.

Dulu, kita berada dalam sebuah kapal yang sama, dengan satu tujuan yaitu kebahagiaan, namun aku malah singgah terlebih dahulu pada pengkhianatan, dan kau menunggu di pulau yang kau sebut kesetiaan. Akhirnya, kau malah pergi sendirian terlebih dahulu, dan kini aku yang sibuk mengejar dan menggapaiku dari belakang.

Egois sekali diriku terus berteriak memanggilmu untuk berhenti menunggu kedatangan ku. Sampai pada akhirnya tersadar, aku harus mendayung lebih keras agar bisa menyusul dirimu dan berlayar beriringan dengan dirimu kembali menuju tujuan awal kita, yaitu Pulau Kebahagiaan.

Jakarta, 25 Juni 2021

Penantian

Kembali, aku mengingat tentangmu, melihat dirimu melintas di setiap lini masa, itu sudah cukup membuat pelupuk mataku basah. Lemah, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan hatiku saat ini.

Bagikan, ‘sambil menyelam minum air’, begitulah kata pepatah. Semua pesan, kenangan, dan foto yang pernah kita ciptakan bersama membuat ku semakin ingin memeluk diriku. Lucu rasanya, ketika bibir mencoba untuk tetap tersenyum, tetapi disaat itu pula air mata makin menetes.

Oh iya, apakah kamu masih ingat dengan celana hiking yang pernah kamu berikan padaku dulu? Namun, aku pernah bilang barang tersebut hilang entah kemana. Ternyata, hari ini aku menemukannya kembali. Dia tersimpan rapih diantara tumpukan jaket di lemari, persis seperti perasaanku kepadamu yang masih tersusun rapih di hati.

Saat ini, aku hanya sanggup berkata-kata di setiap goresan tinta yang aku ciptakan, belum satu kata pun yang sempat tersampaikan. Semoga, akan tiba waktunya, kala dirimu membaca setiap tulisan yang sempat ku goreskan dalam catatan ini.

Tenang, apapun keputusanmu setelah membaca ini semua akan aku terima. Ntah itu baik ataupun buruk, setidaknya aku yakin keputusan itu demi kebahagiaan bersama. Paling tidak, ijinkan diriku untuk melihat dirimu bahagia terlebih dahulu di pelaminan, jika memang itu bukan denganku. Tetapi, jika kamu kembali memberikan kepercayaan padaku, akan ku pastikan takkan pernah ku biarkan dirimu kembali meneteskan air mata kesedihan seperti dahulu kala.

Purwokerto, 23 Februari 2016.

Melangkah

  Sejak kepergianmu, aku mulai sadar betapa indahnya pernah mengenalmu walaupun singkat. Walaupun, kita pernah mengawali perkenalan dalam hal yang salah, yaitu aku dan kamu saat itu mempunyai pasangan masing-masing. Tak apa, setidaknya aku cukup bahagia kala itu. Akupun berharap demikian pula yang kamu rasakan.
  Kemudian, aku mulai mengumpulkan sisa kesedihan yang selama ini aku curahkan diberbagai sosial media tempat diriku mengeluh. Mulai dari bercerita betapa asingnya diriku saat kamu mulai acuh, hampa perasaan tanpa kabar darimu, hingga aku yang berusaha menggapai dirimu hanya untuk bisa mendengar kabar tentang dirimu walau saat itu kau menceritakan beberapa orang yang sempat singgah untuk mendapatkan perhatian darimu.
  Sekarang, aku mulai berusaha terbiasa akan semua ini atas perlakuan yang berikan kepadaku. Sedikit demi sedikit langkah mulai kutapaki untuk lepas dari semua kesedihan dan mengubah semua itu menjadi pelajaran berharga dari apa yang pernah kita lewati berdua. Berbagai macam hal sudah aku lakukan untuk memulai semua awal yang baru ini, seperti berkunjung ke tempat yang pernah kita datangi saat dulu bersama dengan suasana berbeda walaupun kenangannya tetap sama. Kemudian, aku juga mulai menyapa satu persatu teman lamaku untuk sekedar menghibur diri agar tak lama terlarut dalam kesedihan, walaupun ditengah malam masih saja beberapa kali aku menyambangi sosial mediamu hanya untuk melihat kabarmu dari layar ponsel ku. Bagiku itu sudah cukup menyenangkan perasaan hati yang lama tak mendengar kabarmu, begitupun sebaliknya kamu pun beberapa kali sempat melihat unggahan ku disosial media baik menggunakan akun utama ataupun akun keduamu. Ntah apa maksud dari semua itu, karna ketika kusapa dirimu melalui pesan baik, di Whatsapp hanya berbalas centang satu, dan pesan pribadi di Instagram hanya berbalas kediaman dari dirimu. Hal selanjutnya yang aku lakukan untuk terbiasa dengan semua ini adalah, mencurahkan semua perasaan yang ku alami saat ini dalam blog pribadi, lumayan lah untuk menghidupkan kembali blog lama aku, dan kebetulan ada beberapa orang yang bersedia membaca kisah yang saat ini aku alami.
  Setelah semua yang aku lakukan diatas, setidaknya saat ini aku sudah terbiasa untuk  tidak mengunjungi sosial media dirimu atau mengurai perasaan gelisah disaat tak ada kabar darimu. Karena, aku yakin bahwa kamu telah menentukan hati pada dia yang jauh lebih baik dariku, maka dari itupun aku tak perlu susah lagi untuk mengkhawatirkan tentang dirimu, lagipula kamu juga yang menutup semua akses untuk aku bisa menyapamu diberbagai sosial media yang dulu kita pernah gunakan hanya untuk bersenda gurau.
  Sekali lagi, aku ucapkan kepadamu “Selamat atas apa yang tlah kau pilih, semoga kamu slalu bahagia. Dan untuk dia, pacarmu, jaga baik-baik seperti yang sudah pernah aku lakukan yah”. Tak lupa pula, aku mengucapkan selamat untuk diriku sendiri, “Selamat karna sudah berjuang sampai sejauh ini, kamu hebat kawan!”

Pembiasaan

Perjalananku kala itu bertujuan untuk menghilangkan sedikit saja tentangmu, yang masih saja ada sampai sekarang. Entah dengan cara apalagi aku bisa melupakan segala hal tentang dirimu, atau cara apalagi agar aku bisa membenci setiap perlakuanmu kepadaku. Bahkan, menurutmu semua perlakuan itu sudah cukup membuat diriku seharusnya kecewa atau marah dengan apa yang kamu lakukan, tapi kenyataan berbanding jauh. Aku tak pernah sampai hati untuk melakukan semua itu, ntah kenapa dan mengapa, sulit saja rasanya.
Lokasi tujuan yang sedari awal direncanakan pun sudah dicapai, selayaknya manusia pada umumnya. Aku bersama teman-teman yang lain mengeluarkan persiapan semua yang sudah dibawa dari rumah, mulai dari matras, kompor portable, makanan, hingga kenangan yang ingin dilupakan. Haha, mungkin bagian itu cukup berlebihan, terutama bagi diriku. Mana ada kenangan bisa dilupakan, yang benar dan bijak ialah kenangan yang disimpan di dalam ingatan paling berkesan yang akan dijadikan suatu pelajaran berharga di masa depan.
Ditengah keramaian pun aku masih sempat menepi  untuk menikmati sejenak udara segar yang tak bisa aku dapatkan di Jakarta, sembari merasakan dan juga menuangkan perasaan di dalam sebuah catatan.

Aku adalah sang fajar.
Selalu dinanti tuk mengawalj hari, walaupun hanya seorang diri.
Jangan lupakan secangkir kopi pahit.
Agar kita sedikit tersadar, bahwa dia tlah jauh pergi.

Tulisan diawal seperti diatas pun aku catat demikian untuk menggambarkan betapa kehilangan akan dirinya masih terasa asing sampai sekarang. Sembari ditemanin segelas kopi, maka tulisan demi tulisan pun berlanjut.

Minggu pagi
Aku berkunjung ketempat berpenghuni
Mungkin belum sempat kau kunjungi
Atau mungkin kau pernah kesini
Tapi bukan aku yang mendampingi

Dirimu masih di hati
Sampai saat ini
Entah apa diriku masih disana
Mungkin saja, aku tlah kau lupa

Bahkan sampai tulisan ini kubuat
Aku masih terjerat
Bersama perasaan kisah yang tlah lewat
Walaupun ada orang  mencoba tuk mendekat

Hidupku masih saja tentangmu
Walau kisah tlah usai 7bulan lalu
Terasa asing untuk diriku, tuk terbiasa akan ketiadaanmu

Aku adalah senja
Yang pernah kau lewatkan, di ujung rencana
Kelak aku akan menyapa
Dengan cahaya yang lebih besar dari sebelumnya.

Dibandingkan dengan kepergianmu, senja lebih paham caranya berpamitan~

Dua bait terakhir aku kutip dari perkataan seorang yang menjadi inspirasi saya untuk menuangkan apa keluh kesah yang kita rasakan dalam sebuah bentuk tulisan, yaitu Wira Nagara.

KETIADAAN

Tulisan ini dibuat ketika saya mempunyai banyak pertanyaan dalam benak, tentang mengapa komunikasi yang sebelumnya ada menjadi tiada, yang biasanya saling kini menjadi berpaling, yang awalnya utuh kini menjadi runtuh. Selamat membaca 😄

“Hai, apa kabar?” Itu ucapku.
Berbulan, bahkan berminggu-minggu.
Hanya segelintir pesanku yang terbalas.
Selebihnya? Hanya berakhir dua centang biru.
Apakah aku terlalu mengganggu mu?
Atau mungkin kau terusik dengan kehadiranku?

Disini, ya masih disini.
Tak berpindah sedikitpun, walau hanya se-inci.
Masih dengan keadaan yang sama.
Hati dan perasaan yang sama.
Dengan membawa sebuah harapan, pesanku, kau tanggapi.

Mimpi, ya mungkin hanya sebuah angan.
Membalas pun, nampaknya engkau sudah enggan.
Mungkin juga, kehadiranku sudah tak kau harapkan.
Atau bahkan tak kau inginkan.

Tak apa, tak perlu merasa bersalah,
Teruskan saja dirimu melangkah.
Biarkan saja aku yang meratapi kesedihan.
Sambil menikmati pahitnya kepergian.
Disertai rasa manisnya kehilangan.

Anis Langgeng

  Masih bertema dengan “Pembiasaan”, inilah karya tulisan fiksi saya yang kedua berjudul Anis Langgeng, bercerita tentang sebuah kepergian yang entah berakhir dengan kepergian yang hanya untuk sementara atau selamanya. Selamat membaca 🙂

Tulisan ini berkaitan dengan sebuah perpisahan, yang mungkin bisa dikatakan perpisahan untuk sementara atau bahkan selamanya. Menceritakan sebuah hubungan yang mungkin sulit untuk bersatu dalam waktu yang cukup lama, atau juga takkan pernah bisa.
  Kepergian layaknya melakukan perjalanan yang tak tau tempat tujuan yang akan dicapai, cukup berjalan dan terus berjalan walaupun sesekali bahkan sering kali menoleh kebelakang untuk memastikan apa sudah terlalu jauh melangkah atau hanya berjalan di tempat yang sama. Selama perjalanan pun selalu terbesit dalam benak, apakah ini keputusan tepat? Atau hanya keputusan yang secara sepihak aku paksakan?
  Pergi, pergi, dan pergi. Mungkin hanya kata itu yang mungkin sedari dulu kita berkenalan pun sudah sering terucap dari mulutmu, bukankah kau pula yang mengatakan pertama kali ketika kamu meminta aku untuk menjauh darimu, bukan? Bukankah kemudian,  kamu pula yang meminta aku kembali? Semudah itukah perasaan ku untuk kau mainkan? Sudahlah, tak apa, biarlah semua itu berlalu. Lagi pula aku pun pernah melakukannnya sekali untuk mu, ternyata harapan dan sesuai dengan ekspektasi.
  Pada awalnya aku berniat melalukan itu sebagai suatu balas dendam agar kau merasakan hal yang sama seperti aku rasakan dahulu, ketika kamu melakukan hal itu kepadaku. Nyatanya, dirimu tak pernah bisa merasakan itu atau bahkan dirimu kurang terlalu peka untuk merasakan kehilangan tersebut. Memang salahku sedari awal, kenapa bisa aku menetapkan hati padamu? Kenapa bisa dengan mudahnya aku tertarik padamu? Bahkan sedari awal ketika aku mendengar suaramu pertama kali.
  Menyesal? Takkan pernah, aku bersyukur bisa mengenalmu cukup baik, walaupun akhirnya kita harus saling pergi atau bisa jadi akupun yang harus pergi dengan membawa semua yang telah kumulai diawal. Sekantung perasaan, segenggam rindu, setetes air mata, dan setitik tanda cinta didalam dada, harus kubawa semuanya seorang diri.
  Kini, kurasa keberadaan kita berdua sudah cukup jauh terutama dirimu sudah tak terlihat dipelupuk mataku, kau memulainya sedari awal tuk melangkah. Aku? Sedari dulu mencari celah untuk menarikmu perlahan untuk bertahan. Nyatanya, terlalu banyak godaan diluar sana yang membuat akupun tak kuat menahan semua itu, kesempatan yang terbuka pun lambat laun tertutup secara perlahan. Bukan aku yang menutup, tapi kau yang memutuskan menutup semua itu.

Anis, berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti pergi.
Langgeng, berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti abadi.

Anis Langgeng, berarti Kepergian yang abadi.
 

Pemancing dan Ikan Unik

  Hai, setelah sekian lama tidak menulis dan mengurus blog pribadi saya, akhirnya saya akan mengunduh beberapa tulisan saya. Kumpulan tulisan ini bercerita tentang “Pembiasaan” dari beberapa hal yang saya alami, terutama putus cinta, hehe. Ya, inilah tempat saya berkeluh kesah sedari dulu. Kisah akan dimulai terlebih dahulu dengan sedikit cerita fiksi, tapi terdapat makna tersirat didalam cerita dibawah ini yang berjudul “Pemancing dan Ikan Unik”. Bagi kalian yang penasaran, selamat membaca!

Alkisah hiduplah seorang pemuda bernama Wahyudi Indigo Sasmita Nurul Usman atau kita panggil saja Digo. Digo tinggal disebuah rumah sederhanan, ia tinggal bersama saudaranya dan jauh dari kedua orang tuanya. Digo memiliki hobi yang hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai kesabaran lebih yaitu memancing, hobi yang cukup unik bukan? Tak semudah yang dibayangkan loh, hehe..

  Pada suatu hari, Digo ingin pergi melakukan hobinya memancing namun ia pergi ke tempat yang lumayan jauh dari tempat ia tinggal saat ini. Sesaat sebelum berangkat Digo menelpon kedua Ibunya untuk berpamitan sekaligus meminta restu agar mendapat banyak hasil pancingan hari itu.
  “Bu, Digo berangkat memancing yah. Doakan anakmu ini agar mendapatkan hasil yang memuaskan.” Ucap Digo ketika menelpon.
  Disebrang sana sang Ibu pun menjawab permintaan sang anak, “iya nak, semoga kamu mendapatkan hasil tangkapan yang kamu inginkan.”
Kemudian disaat telpon terputus pun akhirnya Digo berangkat dengan penuh keyakinan pada dirinya.

  Setelah beberapa jam perjalanan untuk menuju lokasi yang diinginkan, namun ditengah perjalanan ia melihat dari kejauhan ada seseorang pemancing sedang asik di pinggir kolam sambil memberi ikan, ikan itu cukup unik. Hal unik yang terdapat pada ikan tersebut ialah ikan tersebut berwarna terang serta dihiasi corak yang sangat cantik bahkan terlihat dari kejauhan. Karena penasaran Digo pun memperhatikan gerak-gerik pemancing tersebut.
  Setelah cukup lama memperhatikan, akhirnya Digo memutuskan akan melakukan hobinya tersebut pada lokasi tersebut. Ia pun mencari pengelola kolam pemancingan, dan akhirnya bertemu dengan Ibu pengelola kolam pemancingan.
  ‘Selamat datang di kolam Pemancingan Unik Bisa Gratis.” Ucap sang Ibu.
  “Loh kok bisa gratis bu?”, tanya Digo.
  ” Iya gratis, tapi dengan 1 syarat”, balas Ibu tersebut.
  “Syaratnya apa yah bu? Kalau boleh tau”, tanya Digo semakin penasaran.
   “Mudah kok, ada 1 ikan yang sulit ditangkap, ikan tersebut memiliki warna yang cerah dan corak yang cantik. Kamu hanya memiliki waktu 1 bulan untuk mendapatkannya. Jika lebih maka wajib membayar biaya yang sangat mahal”, tambah Ibu pengelola.
  “Cukup menantang yah bu syaratnya, baik saya akan mencobanya”, jawab Digo penuh percaya diri.

Hari pertama
  Digo memulai tantangan memancing dengan umpan sederhana, berharap dengan umpan yang sederhana itu bisa langsung mendapatkan buruannya. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam pun telah berlalu tetapi nampaknya Ikan tersebut tak kunjung terlihat.
  Posisi yang ditempati Digo padahal tepat bersebrangan dengan si Pemancing yang berhasil mendapatkan perhatian Ikan tersebut. Nampaknya Ikan enggan menyentuh umpan yang Digo berikan.
  Setelah penantian waktu yang sangat lama, akhirnya ada satu moment Ikan tersebut muncul didekat umpan Digo, namun tampaknya hanya sekedar meledek Digo.
“Halah, umpan seperti ini mah sudah biasa”, pikir Digo terhadap perilaku si Ikan. Akhirnya, hari pertama pun Digo lewati dengan tangan kosong.

Hari selanjutnya
  Digo masih penasaran dengan Ikan tersebut, dan memutuskan untuk mengganti umpan yang lebih menggoda untuk Ikan, lebih kaya akan nutrisi dan tentunya 4 sehat 5 bergizi.
“Ini sih umpan udah kaya akan nutrisi, kalau ga muncul juga sih aneh juga itu Ikan”, gumam Digo dalam hati.
  Akhirnya benar saja, setelah beberapa percobaan Ikan tersebut mulai aktif dan cukup sering mampir ke tempat Digo menaruh umpan walaupun hanya sekedar mencicipi umpan tersebut sedikit demi sedikit.
“Ya, akhirnya aku mulai mendapat perhatian dari Ikan unik ini”, ungkap Digo.

Menuju hari ke 14
  Ikan tersebut pun makin sering mampir ke umpan Digo berikan, kali ini bukan saja hanya untuk mencicipi tapi sudah menghabiskan dan hanya menyisakan kail pancing saja. Disisi lain, Ikan tersebut juga masih sering ke Pemancing awal tetapi layaknya bermain petak umpat. Ikan tersebut berenang kedalam air hanya untuk menyebrang agar Pemancing pertama tidak curiga bahwa ia sudah menemukan umpan yang tak kalah lezat dari yang biasa ia makan.
  Hari demi hari pun dilewati, Digo mulai akrab dengan si Ikan unik tersebut dan langsung teringat dengan sang Ibunda,
“Ah iya, mungkin ini yang dinamakan rejeki yang diberikan Tuhan kepadaku, karna aku meminta restu pada Ibuku”, katanya.
Digo yang tengah asik memberi makanan pada Ikan tersebut berniat ingin memberinya nama Restu Ibu Rindu Ibu. Haha terdengar aneh, tapi kita sebut saja nama ikan tersebut Rindu.
  Akhirnya banyak waktu yang dilewati Rindu dan Digo bersama, mungkin Rindu hanya seekor Ikan tetapi nampaknya dia mengerti apa yang dikatakan dan dipikirkan oleh Digo, dan sebaliknya Digo pun nampaknya mulai memahami apa yang sangat dibutuhkan oleh Rindu selama ini, umpan seperti apa, makanan seperti apa, dan nutrisi yang tepat untuk Rindu. Bahkan, Rindu pun cenderung lebih sering memakan umpan Digo daripada Pemancing pertama.

  Setelah banyak kebersamaan dalam hal waktu, Digo berhasil membuktikan bahwa dia adalah pemenang dalam tantangan tersebut, dan ia berhak mendapatkan Ikan tersebut. Namun, Digo tetap membiarkan Rindu tetap pada tempat asalnya dan tak pernah berpikir untuk membawa pulang atau bahkan memindahkan dia dari tempat asalnya. Baginya, asalkan Rindu nyaman dan senang dengan itu semua, sudah cukup bagi Digo untuk senang. Setidaknya, Digo telah berhasil membuktikan bahwa perjuangan yang dia lakukan tak pernah sia-sia. Berawal dari bukan apa – apa menjadi sesuatu yang berharga untuk dirinya.
  Hari pun terus berlalu, mereka melewatinya dengan penuh kebahagiaan, Digo yang makin lama makin memahami segala hal tentang perilaku dan kebiasaan Rindu setiap hari. Bahkan, Digo rela melawan kantuknya di setiap malam hanya untuk makin memahami perasaan Rindu. Layaknya hewan lain, naluri untuk hidup bebas masih ia miliki, Rindu sangat senang berenang kesana kemari tapi tak lupa ia pun sering berinteraksi dengan Digo walaupun hanya berenang di sekitarnya.
  Pada suatu malam, diterangi dengan cahaya rembulan yang tampak membulat sempurna di kegelapan malam, Digo mencoba berinteraksi dengan Rindu. Ia hanya ingin mengatakan sesuatu yang bagi dirinya cukup penting untuk dikatakan, tak peduli ia dapat mendengar atau tidak, tetapi setidaknya Rindu paham apa yang dimaksudkan oleh Digo.
“Ada pertemuan pasti ada juga namanya perpisahan”, Digo memulai bicaranya.
” Apabila semua ini ada akhirnya, yuk kita nikmatin waktu yang tersisa sebaik mungkin”, tambah Digo seraya mengakhiri pembicaraanya.

  Akhirnya, benar saja yang dikatakan Digo, setelah 3-4 bulan kebersamaan bersama Rindu. Dia harus melepas dan meninggalkan Rindu, karna ada sesuatu yang harus Digo lakukan di tempat asalnya. Namun, melepaskan dan meninggalkan Rindu bukan hal yang mudah untuk dia lakukan, bahkan sampai 5 bulan berpisah dengan Rindu, ia masih saja mengingat dengan jelas setiap hal yang mereka lakukan bersama-sama dahulu. Kemudian, Digo mendengar banyak kabar tentang banyaknya pemancing lain yang berusaha mendapatkan Rindu, ntah berapa banyak yang berusaha, dalam doanya Digo selalu berharap agar Rindu slalu baik-baik disana.